Oleh Nadawutu Purnayoga

Menilik sejenak Pemilu yang diselenggarakan pada 14 Februari 2024 lalu, masyarakat Indonesia disibukkan dengan rangkaian acara pesta demokrasi. Anggaran dan regulasi dimasak, kampanye digembar-gemborkan di penjuru daerah, serta konten-konten seputar Pemilu hangat diperbincangkan di media sosial.Tak hanya itu, yang sedikit luput dari pandangan, sepasang maskot bernama Sura dan Sulu juga dibuat untuk melengkapi momen masyarakat Indonesia menyatakan hak pilihnya untuk pemilihan para pemimpin dan wakil rakyatnya, baik dalam lingkup negara maupun daerah. Meski ini bukan pertama kalinya Pemilu di Indonesia dilengkapi dengan maskot, sebagian orang mungkin masih asing dengan hal tersebut. Lantas, apa semangat Pemilu yang dipercikkan sejak Pemilu pertama? Sejak kapan dan apa esensi diciptakannya maskot Pemilu?

Melihat sekilas sejarah Pemilu di Indonesia, saat Pemilu 1955, yaitu Pemilu pertama dalam sejarah bangsa Indonesia, belum ada maskot Pemilu. Jangankan maskot, pelaksanaan Pemilu pertama itu pun mundur hampir sepuluh tahun dari rencana pelaksanaannya, yaitu Januari 1946. Ketidaksiapan pemerintah mengadakan Pemilu, baik belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan Pemilu, maupun masih adanya serangan kekuatan asing yang menyebabkan rendahnya tingkat keamanan negara, merupakan beberapa faktor utama yang menyebabkan mundurnya pelaksanaan Pemilu pertama (KPU, tanpa tahun). Meskipun demikian, Pemilu 1955 berhasil dilaksanakan dengan langsung, umum, bebas dan rahasia. Asas-asas inilah yang kemudian juga dinyalakan pada Pemilu-Pemilu selanjutnya.

Lebih dari lima puluh tahun setelah Pemilu pertama, tercetuslah gagasan untuk membuat maskot Pemilu. Tak lepas dari pernyataan Geertz dalam Hoskins (2015) bahwa simbol adalah sarana pembawa kebudayaan, maskot Pemilu mengusung makna yang erat kaitannya dengan semangat-semangat Pemilu. Pemilu tahun 2009 menjadi Pemilu pertama yang memiliki maskot, yaitu si Contreng. Maskot ini menyerupai pena berwarna oranye dan abu-abu. Secara psikologis, warna oranye memberi kesan semangat dan merupakan simbol dari optimisme, sedangkan warna abu-abu menunjukkan sebuah keseriusan. Maskot yang digambarkan sedang membubuhkan tanda centang (contreng) pada selembar kertas sambil tersenyum lebar ini membawa pesan bahwa Pemilu, meski merupakan suatu hal yang serius dan harus dilakukan dengan optimis, cukup dilakukan dengan membubuhkan tanda contreng untuk menyatakan pilihan.

Sejak Pemilu 2009 ini, tradisi maskot Pemilu dimulai. Pada periode berikutnya, tahun 2014, pemerintah menetapkan si Kora yang berupa kotak suara yang tersenyum lebar dengan ajakan “Ayo Memilih” di bagian atasnya sebagai maskot Pemilu 2014. Secara warna, si Kora identik dengan maskot sebelumnya dengan warna oranye dan abu-abu. Dibanding dengan si Contreng, pada si Kora terdapat tambahan unsur sang Merah Putih dan logo KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Pada kelingking kirinya juga terdapat bekas celupan tinta yang menandakan bahwa ia telah melakukan pemberian hak suara dalam Pemilu. Si Kora menjadi simbol kedaulatan rakyat yang terhimpun dalam kotak suara.

Beranjak ke Pemilu 2019, ditetapkanlah sang Sura sebagai maskot Pemilu. Sang Sura yang merupakan akronim dari “sang surat suara” digambarkan sebagai figur surat suara yang menunjukkan bekas celupan tinta pada kelingking kanannya. Ia juga sedang memegang paku pencoblos dengan tangan kirinya. Hal ini menunjukkan bahwa metode Pemilu kali ini adalah dengan mencoblos satu gambar calon pemimpin yang terdapat pada surat suara. Tak jauh berbeda dengan maskot Pemilu 2014, sang Sura dilengkapi dengan logo KPU pada dahinya dan ajakan “Ayo Memilih” di atasnya. Garis-garis yang tebal pada ilustrasi sang Sura juga memiliki makna, yaitu kesan berwibawa. Namun, dengan senyuman optimisnya, sang Sura tetap terkesan bersahabat.

Sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Pemilu 2024 memiliki sepasang maskot Pemilu yang bernama Sura dan Sulu yang ditetapkan pada 14 Desember 2022. Sura, yang merupakan akronim dari Suara Rakyat, merepresentasikan burung Jalak Bali jantan, sementara pasangannya, Sulu, kependekan dari Suara Pemilu merepresentasikan burung Jalak Bali betina. Pemilihan sepasang maskot ini didasari dengan semangat bahwa pemilih pria dan wanita memiliki hak pilih yang sama dalam Pemilu. Seirama dengan maskot-maskot sebelumnya, Sura digambarkan sedang membawa paku Pemilu di tangan kanannya dan di kelingking kirinya terdapat bekas celupan tinta sebagai tanda telah memilih dalam Pemilu. Melengkapi pasangannya, Sulu membawa surat suara di tangan kirinya dan di kelingking kanannya juga terdapat bekas celupan tinta ungu.

Maskot-maskot Pemilu dari tahun ke tahun selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman. Jika Sura dan Sulu dibandingkan dengan maskot-maskot Pemilu pada tahun-tahun sebelumnya, terdapat simbol-simbol yang selalu digunakan. Simbol-simbol yang tidak pernah hilang tersebut yaitu logo KPU, tanda bekas celupan tinta pada jari kelingking, dan wajah ceria pada setiap maskot. Sesuai dengan tujuannya, untuk menyemarakkan Pemilu yang diselenggarakan KPU, maskot Pemilu dari tahun ke tahun membawa kesan bahwa Pemilu harus dilakukan oleh segenap masyarakat Indonesia dengan ceria, damai, dan senantiasa menerapkan asas-asas Pemilu, demi masa depan Indonesia.

 

Referensi

Hoskins, J. (2015). Symbolism in anthropology. In Elsevier eBooks (pp. 860–865). https://doi.org/10.1016/b978-0-08-097086-8.12226-3

Kpu. (n.d.). page Komisi Pemilihan Umum. https://www.kpu.go.id/page/read/8/pemilu-1955

Sudaina, M. (2024, January 30). Mengenal Maskot Pemilu Indonesia Tahun ke Tahun. RRI. Retrieved February 5, 2024, from https://www.rri.co.id/pemilu/536068/mengenal-maskot-pemilu-indonesia-tahun-ke-tahun